Etika Subsistensi Moral Ekonomi Petani Pedesaan (J.C Scott)

Published September 19, 2013 by intankastomolovers

Dalam kajian sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai gejala sosial yang berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan sosial. J.C. Scott menyatakan bahwa moral ekonomi petani di dasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas. Di mana ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang menurut mereka yang dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka. Hal ini disebabkan oleh norma subsistensi. James C. Scott menambahkan bahwa para petani adalah manusia yang terikat sangat statis dan aktivitas ekonominya. Mereka dalam aktivitasnya sangat tergantung pada norma-norma yang ada. James C. Scott menambahkan bahwa para petani adalah manusia yang terikat sangat statis dan aktivitas ekonominya. Mereka dalam aktivitasnya sangat tergantung pada norma-norma yang ada. Penekanan utama adalah pada moral ekonomi petani yang dikemukakan oleh James C.Scott yang menekankan bahwa petani cenderung menghindari resiko dan rasionalitas. 1. Pasar Kapitalistik di Asia Tenggara mengacaukan “Moral Ekonomi” Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka. Itulah yang disebut sebagai “moral ekonomi”, yang membimbing mereka sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam. Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara kolonial dan paskakolonial, dan proses modernisasi di Asia Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan kaum tani berontak. 2. Ekonomi Moral dengan Ciri Khas “Desa” dan “Ikatan Patron-Klien” Pendekatan ekonomi-moral menunjuk “desa” dan “ikatan patron-klien” sebagai dua institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anggota komunitas. Fungsi operasional desa adalah menjamin suatu ‘pendapatan minimum’, dan meratakan kesempatan serta resiko hidup warganya dengan jalan memaksimumkan keamanan dan meminimalkan resiko warganya. Dalam fungsinya itu desa menerapkan aturan dan prosedur bagi terciptanya sebuah kondisi di mana warga desa yang miskin (siapa medapatkan apa) akan tetap memperoleh jaminan pemenuhan kebutuhan subsisten minimum dengan cara menciptakan mekanisme kedermawanan dan bantuan dari warga desa yang kaya (siapa memberi apa). Desa akan memberikan jaminan kebutuhan subsisten minimum kepada seluruh warga desa sejauh sumber-sumber kehidupan yang dimiliki desa memungkinkan untuk melakukan itu. Institusi yang menjadi pasangan desa adalah ikatan patron-klien. Insitusi ini tercipta dalam kondisi sosial-ekonomi yang timpang: ada sebagian orang yang menguasai sumber-sumber kehidupan, sementara yang lainnya tidak. Ikatan patron-klien bersifat rangkap (dyadic), yang meliputi hubungan timbal-balik antara dua orang yang dijalin secara khusus (pribadi) atas dasar saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima (Legg, 1983:10). Dalam ikatan ini pihak patron memiliki kewajiban untuk memberi perhatian kepada kliennya layaknya seorang bapak kepada anaknya. Dia juga harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan kliennya. Sebaliknya, pihak klien memiliki kewajiban untuk menunjukkan perhatian dan kesetiaan kepada patronnya layaknya seorang anak kepada bapaknya. Langgeng tidaknya sebuah ikatan patron-klien bergantung pada keselarasan antara patron dan kliennya dalam menjalankan hak dan kewajiban yang melekat pada masih-masing pihak dengan terjalinnya hubungan yang saling menguntungkan, serta saling memberi dan menerima. Desa dan ikatan patron-klien ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Desa berperan dalam mengatur distribusi sumber-sumber kehidupan yang tersedia di dalam desa untuk menjamin tersediannya sumber-sumber kehidupan yang dibutuhkan warganya, sementara ikatan patron-klien menjadi institusi yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan, sumber-sumber kehidupan di dalam desa, dari si kaya kepada si miskin melalui praktik-praktik ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial di antara warga desa. Jaminan yang diberikan desa dan ikatan patron-klien tertuju pada pemenuhan kebutuhan subsisten warga desa. Secara agak kasar, Scott (1983:4) menggambarkan perilaku subsisten sebagai usaha untuk menghasilkan beras yang cukup untuk kebutuhan makan sekeluarga, membeli beberapa barang kebutuhan seperti garam dan kain, dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak-pihak luar.

Cover Buku, moral ekonomi petani
Intinya, perilaku ekonomi subsisten adalah perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal. Perilaku seperti itu tidak lahir dengan sendirinya atau sudah demikian adanya (taken for granted), melainkan dibentuk oleh kondisi kehidupan, lingkungan alam dan sosial-budaya, yang menempatkan petani pada garis batas antara hidup dan mati, makan dan kelaparan. 3. Kondisi yang Membentuk Etika Subsistensi Sebagai kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumber agraria, petani sangat rentan terhadap gangguan yang berasal dari alam, bencana, ancaman hama, cuaca dan sebagainya. Sementara sebagai warga komunitas desa, petani memiliki kewajiban untuk memenuhi tuntutan yang datang dari kekuatan supradesa, pungutan pajak, upeti dan sebagainya. Kondisi yang sudah melingkupi kehidupan petani selama berabad-abad lamanya itu pada akhirnya membentuk pandangan hidup mereka tentang dunia dan lingkungan sosialnya. Pandangan hidup inilah yang memberi arah kepada petani tentang bagaimana menyiasati, bukan mengubah kondisi dan tekanan yang datang dari lingkungan alam dan sosialnya melalui prinsip dan cara hidup yang berorientasi pada keselamatan prinsip mengutamakan selamat dan menghindari setiap resiko yang dapat menghancurkan hidupnya. Kondisi yang membentuk karakter dan ciri khas petani pedesaan sebagaimana terurai di atas telah melahirkan apa yang oleh Scott (1983:3) dinamakan “etika subsistensi”, yakni kaidah tentang “benar dan salah”, yang membimbing petani dan warga komunitas desa mengatur dan mengelola sumber-sumber kehidupannya (agraria) dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka di dalam komunitas. Dalam pilihan tindakan secara kolektif, prinsip moral menekankan : (1) Pengorbanan yang harus dikeluarkan termasuk risikonya, (2) Hasil yang mungkin diterima, bila menguntungkan maka mereka akan ikut bila tidak mereka bersikap pasif (3) Proses aksi yaitu dipertimbangkan tingkat keberhasilannya apakah lebih bermanfaat secara kolektif atau tidak, (4) Kepercayaan pada kemampuan pemimpin atau dapatkah sang pemimpin dipercaya atau tidak. Dengan demikian aksi-aksi kolektif yang dapat dinilai mendatang keuntungan bagi mereka saja yang diikuti atau didukung. 4. Sebab-sebab Munculnya Perlawanan Petani Pendekatan ekonomi-moral menjelaskan sebab-sebab atau prasyarat munculnya perlawanan petani, dan kemukakan dua hal menyangkut operasionalisasi pendekatan ini, paling tidak dalam studinya Scott (1983). Pertama, pendekatan ekonomi-moral menempatkan “etika subsistensi” sebagai pusat analisis dalam memperoleh kejelasan tentang sebab-sebab dan prasyarat bagi terjadinya perlawanan petani. Kedua, yaitu dengan menyelami apa yang oleh Scott disebut ekonomi-moral petani, yakni konsepsi petani tentang keadilan ekonomi dan pegertian mereka tentang eksploitasi, batasan petani tentang pungutan-pungutan atas hasil produksi pertanian yang bisa dan tidak bisa ditoleransi. Dengan demikian, pendekatan ekonomi-moral menempatkan etika subsistensi dan ekonomi-moral petani pedesaan sebagai variabel yang dipengaruhi (dependent variable). Sebagaimana penjelasan di muka, kelangsungan hidup petani sangat tergantung, di satu sisi pada ketersediaan sumber-sumber kehidupan (agraria) di dalam desa; dan sisi lain pada institusi yang berfungsi mengatur proses distribusi sumber-sumber kehidupan itu secara adil dan merata di antara warga desa. Kenyataan ketergantungan petani tersebut tidak berada dalam kerangka memaksimalkan pencapaian hasil (keuntungan), melainkan diarahkan sebatas memenuhi kebutuhan subsisten. Adil dan merata dalam konteks ini menunjuk pada sebuah kondisi di mana setiap orang (warga desa) memiliki kesempatan yang sama atas sumber-sumber kehidupan, aspek pemerataan, sebatas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan tuntutan-tuntutan luar atas hasil pertanian, aspek keadilan. Aspek pemerataan dan keadilan inilah yang menjiwai etika subsistensi petani. Dalam kondisi di mana sumber-sumber kehidupan, terutama tanah yang tersedia di dalam desa semakin terbatas jumlahnya karena tekanan jumlah penduduk dan proses modernisasi, apa yang diupayakan petani untuk memenuhi tuntutan pemerataan dan keadilan itu disebut sebagai gejala “shared poverty” (kemiskinan yang dibagi rata) dan “involusi pertanian” (Geertz,1983). Menurut pendekatan ekonomi-moral, gejala tersebut merupakan perwujudan kemampuan internal desa untuk menciptakan mekanisme pertahanan terhadap unsur-unsur luar yang akan merusak tatanan yang menjamin tetap terjaminnya kebutuhan subsisten petani. Terciptanya kemampuan internal desa untuk membagi rata sumber-sumber kehidupan yang ada di dalam desa di saat tekanan atasnya meningkat sangat bergantung pada bekerjanya institusi ikatan patron-klien. Artinya, harus ada jaminan bahwa hubungan “memberi dan menerima” di antara warga desa yang kaya dan miskin berjalan sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku di dalam komunitas desa; dan prinsip-prinsip moral, seperti ketulusan (fairness) dan keadilan (justice) harus senantiasa menjiwai setiap hubungan sosial di antara warga desa. Dalam kerangka ini, selain ikatan patron-klien berfungsi sebagai institusi yang memungkinkan terjadinya distribusi kekayaan di antara warga desa yang kaya dan miskin, juga memberi kontribusi bagi terciptanya tertib sosial di dalam desa. Argumentasinya, kelanggengan dan keberhasilan seorang patron dalam menjalankan peranannya bersandar kepada kualitas jaminan subsisten yang dia berikan kepada kliennya. Kehendak patron untuk memperoleh kemakmuran atau kekayaan bersandar pada usahanya untuk mempertahankan keabsahannya (legitimasi) di mata kliennya, yakni dengan cara mempertahankan jaminan subsisten mereka atas kliennya. Selama patron berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral (etika subsistensi) yang mengatur praktik ekonomi dan pertukaran-pertukaran sosial di antara warga desa, kemungkinan akan terjadinya kemarahan moral dan pemberontakan dari pihak klien akan dapat dihindari. Cover buku J.C Scoot Sebenarnya ada perspektif ekonomi-moral itu merupakan etika subsistensi yang menyediakan perspektif kepada warga desa untuk melihat tuntutan-tuntutan mereka atas sumber kehidupan mereka. Kriterianya: apakah tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi warga desa seperti pembayaran sewa tanah dan pajak lebih besar atau banyak dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan subsisten atau tidak. Jika tuntutan itu mengurangi kebutuhan subsisten, maka mereka akan memberontak. Dengan demikian, yang menjadi alasan petani melakukan protes dan perlawanan bukan didasari oleh besarnya tingkat tuntutan-tuntutan yang dalam terminologi Marxis disebut penghisapan, melainkan karena dorongan untuk mempertahankan tetap kokohnya institusi-institusi yang dapat menjamin tercukupinya kebutuhan-kebutuhan petani di dalam desa. Dalam hal sewa dan pajak tanah misalnya, alasan utama yang menggerakkan petani untuk memberontak adalah karena kecilnya sumber kehidupan yang tersisa, tidak dapat memenuhi kebutuhan subsisten mereka, daripada karena besarnya jumlah sumber kehidupan yang diambil. Kasarnya, berapapun besarnya tuntutan atau tekanan luar kepada petani, mereka tidak akan melawan sejauh tuntutan itu tidak merusak jaminan kebutuhan subsisten mereka. 5. Bentuk Perlawanan dalam Kacamata Petani Di dalam prosesnya bila petani dengan terpaksa harus bangkit melawan karena alasan tekanan subsistensi, maka perlawanannya tidak pernah diwujudkan dalam bentuk aksi kolektif yang terorganisasi, melainkan berupa perlawanan sehari-hari yang tersembunyi, halus, berupa penghindaran, penipuan, dan dilakukan secara diam-diam. Bentuk perlawanan seperti ini tidak mengenal manifesto, demonstrasi, kampanye, penggalangan masa dan perlawanan-perlawanan terbuka lainnya. Dalam uraian yang lebih lengkap (Scott 2000) mencatat, bentuk perlawanan sehari-hari, sebuah pertarungan jangka panjang yang prosaik, antara petani dan pihak-pihak yang coba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan bunga dari mereka. Kebanyakan bentuk pertarungan ini hampir saja menimbulkan tantangan kolektif langsung. Adanya senjata-senjata biasa milik kelas yang relatif tak berdaya dan selalu kalah, seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memnuhi permohonan, pencurian, pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik orang, pembakaran, penyabotan, dan sebagainya. Mereka hampir tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan; menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal; sering mengambil bentuk mengurus diri sendiril; dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis yang langsung dengan kekuasaan. Memahami bentuk-bentuk biasa dari perlawanan ini berarti memahami banyak dari apa yang secara historis dilakukan oleh kelas-kelas petani, untuk membela kepentingan mereka terhadap orde-orde yang progresif, maupun yang konservatif. Bila dianalisis, justru cara-cara perlawanan demikian ini sering merupakan yang paling berarti ada yang paling efektif dalam jangka panjang. Menurut Scott (1993:322), perlawanan dalam kacamata petani adalah setiap aksi yang dilakukan seseorang atau lebih dengan tujuan untuk mengurangi atau menolak berbagai tuntutan, sewa, pajak, kerja paksa, dan kepatuhan, dari kelas-kelas orang kaya, tuan tanah, negara, rentenir, atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutan berupa jaminan sosial ekonomi, seperti akses ke tanah, sumbangan, dan penghargaan, terhadap kelas-kelas orang kaya. 6. Kritik Penulisan James. C. Scott Dalam perilaku rasional teori Scott mendapat kritik keras dari Samuel Popkin (1979) yang mengemukakan bahwa sistem bagi hasil sama rata pada masyarakat petani lebih disebabkan oleh keengganan pemilik tanah untuk mebiarkan petani menjual sendiri hasil panennya ke pasar. Popkin dalam bukunya The Rational Peasant: The Political economy of rural society in Vietnam, menyebutkan bahwa tindakan menentang atau melakukan perlawanan bukan karena moral ekonomi untuk mempertahankan komunitas tradisional yang ada. Bagaimana Popkin menerangkan desa para petani sebagai sebuah ” komunitas ” tetapi sebuah korporasi yang melihat adanya hubungan transaksional yang mengarah pada eksploitasi bukan hubungan paternalistik. Menurut Sairin dkk (2002) ciri-ciri desa masyarakat petani yang diduga memiliki kehidupan tradisional tersebut adalah : 1. Desa tradisional pajak dibayar kolektif atau ditanggung bersama sebaliknya dalam desa terbuka maka adanya tanggung jawab pembayaran secara individual. 2. Hubungan dengan pasar terbatas sebaliknya pada desa terbuka kekaburan batas desa dan dunia luar sangat tipis karena mereka berhubungan dengan pasar setiap hari. 3. Ada larangan kepemilikan tanah bagi orang luar desa sebaliknya pada desa-desa terbuka bebas larangan kepemilikan pribadi. Privatisasi tanah hak milik dimungkinkan bukan tanah ulayat. 4. Perasaan sebagai warga desa sangat kuat sebaliknya konsep kewargaan tidak ada. Namun apakah dalam desa tradisional tersebut berlaku prinsip tatanan moral seperti dikemukakan Scott. Pertama, Popkin menjelaskan bahwa dalam prakteknya pembayaran pajak dibayar secara kolektif tersebut terkandung manipulasi. Tidak tertutup kemungkinan adanya eksploitasi warga kaya pada warga miskin karena mereka memiliki pengaruh atau kekuasaaan yang lebih tinggi sehingga mereka membayar justru lebih rendah. Kedua ekonomi pasar bukan sama sekali ancaman bahkan memungkinkan mereka lebih bebas dari sistem yang ada selama ini. Hubungan patron klien yang terjadi bukan karena tradisi melindungi yang lemah melainkan suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya murah. Mereka diberi kesempatan untuk hal-hal kecil ” seperti mencari butir-butir padi yang tersisa ” agar mereka tidak meinta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Sama sekali bukan karena belas kasihan. Ketiga kepemilikan lahan lebih kecil artinya daripada akses ekonomi. Melalui kepemilikan terbatas maka kelompok yang berkuasa membatasi kepemilikan orang luar desa yang mampu menjadi pesaing. Keempat konsep perasaan sebagai warga desa akan mendukung eksistensi kelompok atau elit yang berkuasa memanfaatkan dukungan emosional sehingga status ekonomi mereka terpelihara. Alhasil Popkin menegaskan bahwa yang berlaku bukan prinsip moral melainkan prinsip rasional. Penutup Pada sub-sub topik telah dijelaskan dengan sangat mendalam oleh James. S. Scott dan dikaji ulang dalam beberapa masalah seperti; (1) Pasar Kapitalistik di Asia Tenggara mengacaukan “Moral Ekonomi”; (2) Ekonomi Moral dengan Ciri Khas “Desa” dan “Ikatan Patron-Klien”; (3) Masalah-masalah dalam Etika Subsistensi; (4) Sebab-sebab Munculnya Perlawanan Petani; (5) Bentuk Perlawanan dalam Kacamata Petani, menjadi bahan analisis bahwa perkembangan sosial petani pedesaan dahulu penuh dengan gejolak baik dari segi budaya, pengaruh diskrimanasi, maupun tekanan penguasa. Dalam hal ini ada dua perilaku ekonomi terkait penulisan scott yang dikritik popkin, yaitu perilaku ekonomi subsisten (Scott) dan perilaku ekonomi rasional (Popkin). Perilaku ekonomi subsisten adalah perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal. Perilaku seperti itu tidak lahir dengan sendirinya atau sudah demikian adanya (taken for granted), melainkan dibentuk oleh kondisi kehidupan lingkungan alam dan sosial-budaya yang menempatkan petani pada garis batas antara hidup dan mati, makan dan kelaparan. Sedangkan perilaku ekonomi rasional kecenderungan masyarakat petani untuk menganut pemikiran rational peasant. Seorang petani pemilik tanah yang rasional tentu akan lebih suka memperkerjakan tetangganya sendiri dengan dasar pertimbangan hubungan tolong menolong dan patron client, daripada mengambil buruh tani di pasar bebas. Akan tetapi, tidak berarti bahwa seorang pemilik tanah akan selalu tunduk kepada norma dan moral pedesaan. Semua tergantung pada situasi dan kondisi pada masa dan tempat tertentu. Meski mendapat kritik, tulisan Scott tetap menjadi sumber khas dalam penelitian moral ekonomi petani di kawasan Asia Tenggara khususnya untuk melihat etika subsistensi, sehingga mendapatkan perhatian besar dari peneliti lain (seperti: Samuel Popkin dan Sairin dkk) untuk mengkaji ulang penelitian Scott. Pustaka Kajian Utama James. C. Scott. 1977. The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. London: Yale University Press. Terjemahan Hasan Basari. 1983. Moral ekonomi petani : pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES Daftar Pustaka (sebagai bahan analisis) Amitai Etzioni. 1992. Dimensi Moral: Menuju Ilmu Ekonomi Baru. Bandung: PT Remaja Rodaskarya. Clifford Geertz. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara Frans Magnis Suseno. 1981. “Tempat Moral dalam Ekonomi”, Majalah Basis, Vol. 30, No. 15 (Hal 457-462) Mubyarto. 1988. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES Mukhtar Sarman. 1994. “Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani”, Jurnal Prisma, Vol. 23, No. 7 (Hal 69-86) Samuel, L. Popkin. 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. London, England: University of California Press Suroso Imam Zadjuli. 2004. “Etika sebagai Landasan Moral Pembangunan Ekonomi di Indonesia”, Jurnal Unisia, Vol. 27, No. 54 (Hal 428-445)

Leave a comment